Pinjaman Online Kuliah: Bukan hanya tentang biaya, tetapi persepsi tentang masa depan. Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Isu masyarakat yang melakukan pinjaman online untuk melanjutkan pendidikan tinggi, terutama bagi kelompok miskin atau hampir miskin menjadi perhatian dalam dunia pendidikan saat ini. Sebagian besar dari mereka memilih jalur ini sebagai alternatif ketika negosiasi dengan universitas tidak membuahkan hasil. Meski demikian, fenomena ini dapat dilihat dan dikaji lebih lanjut dari berbagai aspek.
Pertama, terdapat kekhawatiran bahwa kampus tidak melakukan seleksi dengan baik terhadap calon mahasiswa berdasarkan kemampuan keuangan mereka. Fenomena ini dapat terjadi karena adanya exclusion and inclusion error. Mungkin saja calon mahasiswa yang sebenarnya mampu membayar kuliah terdeteksi sebagai yang tidak mampu, pun sebaiknya. Hal tersebut dapat mengakibatkan masalah, terutama ketika mahasiswa tersebut kesulitan dalam pembayaran pinjaman dan bunganya di kemudian hari.
Dugaan kedua mengarah pada persepsi anak-anak mengenai peluang bekerja setelah lulus pendidikan tinggi (S1). Ada kecenderungan untuk menganggap bahwa dengan gelar tersebut, mereka dapat lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Pemikiran ini juga muncul karena banyaknya lowongan kerja yang mengharuskan calon pekerja minimal bergelar S1.
Dugaan ketiga mencakup kebutuhan pasar kerja terhadap lulusan S1 dengan kemampuan berpikir logis. Pencari kerja menganggap bahwa logika berpikir adalah aspek penting, meskipun keterampilan keras (hard skills) juga dibutuhkan. Hal ini mengarah pada perbandingan dengan lulusan sarjana vokasi yang dianggap memiliki kombinasi kemampuan logis dan keterampilan teknis yang diperlukan oleh banyak industri.
Untuk mengatasi permasalahan pinjaman online untuk akses pendidikan tinggi ini, beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan adalah pertama, Universitas dapat meningkatkan proses seleksi calon mahasiswa dengan memperkecil exclusion and inclusion error dengan melihat kembali latar belakang individu yang mendaftar, pun seleksi wawancara yang lebih ketat.
Kedua, memberlakukan kebijakan afirmasi untuk mahasiswa yang kurang mampu secara finansial tetapi memiliki potensi dan minat untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dengan alasan yang jelas dan sesuai, seperti memiliki prestasi, ataupun memiliki target untuk mendapatkan pekerjaan di suatu sektor bahkan sebelum berkuliah. Pemberlakuan kebijakan ini memastikan bahwa keberagaman dan kesetaraan dalam pendidikan dapat diwujudkan.
Selanjutnya, upaya memberikan informasi yang lengkap untuk memperbaiki persepsi anak-anak mengenai peluang kerja setelah lulus S1 juga merupakan langkah penting yang perlu dilakukan. Informasi terkait pendidikan dan kesempatan kerja yang akurat perlu disosialisasikan agar calon mahasiswa dapat membuat keputusan berdasarkan pemahaman yang realistis tentang pasar kerja.
Terakhir, pendidikan Vokasi sebagai salah satu jenjang pendidikan yang dipercaya dapat mempersiapkan anak untuk masuk ke dunia kerja dan dunia industri perlu dioptimalkan. Jika anak dan orang tua telah memahami kelebihan dan kekurangan pendidikan tinggi dan memilih untuk bekerja setelah lulus Sekolah Menengah, maka SMK akan menjadi salah satu tujuan utama. Kualitas SMK yang baik, sesuai dengan kebutuhan industri, dan memberikan kecepatan dalam proses mencari kerja dapat mengurangi anak yang masuk ke pendidikan tinggi karena kesalahan persepsi bahwa pendidikan tinggi lebih mudah memberikan pekerjaan.
Dengan mengimplementasikan solusi-solusi ini, diharapkan dapat mengurangi risiko keuangan bagi mahasiswa yang kurang mampu, memperbaiki persepsi calon mahasiswa mengenai peluang kerja, dan memastikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar memenuhi kebutuhan pasar kerja. Pemahaman yang lebih baik tentang dinamika antara dunia pendidikan dan industri juga akan membantu menciptakan lulusan yang lebih siap untuk menghadapi tuntutan dunia kerja yang terus berubah.
-YusufFM-