The media coverageEducationInternal Research

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga

Photo of author

5 minutes

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga

Muhammad Ciro Danuza, Article 33

● Rumah tangga miskin masih menanggung beban finansial besar untuk pendidikan.

● Uang saku untuk konsumsi di sekolah menjadi komponen pengeluaran terbesar.

● Solusi strategis diperlukan agar pendidikan benar-benar inklusif dan tidak membebani keluarga miskin.

Pendidikan adalah investasi utama pembangunan sumber daya manusia. Akses pendidikan berkualitas krusial untuk meningkatkan taraf hidup dan pertumbuhan ekonomi. Namun, beban finansial pada rumah tangga di Indonesia dapat membatasi akses pendidikan, terutama bagi keluarga dengan kondisi sosio-ekonomi rendah, dan menghambat terwujudnya pendidikan sebagai hak seluruh warga negara.

Buktinya, lebih dari 4 juta anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah tingginya beban biaya pendidikan yang menghambat partisipasi, baik biaya langsung seperti SPP, uang pangkal, transportasi, seragam, maupun biaya tidak langsung seperti biaya tambahan untuk keperluan komite orang tua, uang ujian, dan lain-lain.

Kami melakukan analisis skala nasional menggunakan data sekunder bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa: (1) Rumah tangga di Indonesia masih berkontribusi besar secara finansial untuk memperoleh pendidikan meskipun pemerintah sudah memiliki beberapa kebijakan pembiayaan pendidikan; (2) Semakin miskin rumah tangga maka semakin besar porsi pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan; (3) Pengeluaran pendidikan rumah tangga terbesar adalah untuk uang saku yang digunakan untuk makan dan minum ketika bersekolah.

Realita pengeluaran pendidikan rumah tangga

Hasil analisis kami menggunakan data Susenas 2021 menunjukkan 33.1% anak usia 5-24 tahun tidak sekolah karena bekerja, 22% karena tidak punya biaya, 19.36% merasa pendidikannya cukup, dan sisanya memilih menikah dan mengurus rumah tangga (Grafik 1). Artinya, aspek finansial menjadi mayoritas alasan anak tidak sekolah karena tidak memiliki biaya dan lebih memilih untuk bekerja.

Catatan: Analisis tidak memasukkan jawaban
Grafik 1. Persentase Alasan Anak Tidak Sekolah (ATS) tahun 2021. Sumber: Susenas Modul Pendidikan, 2021, diolah penulis, Author provided (no reuse)

Sementara itu, Grafik 2 membandingkan pengeluaran pendidikan rumah tangga tahun 2021 dengan anggaran pendidikan per kapita berdasarkan provinsi. Hampir semua anggaran pendidikan per kapita per provinsi lebih besar dari pengeluaran rumah tangga, kecuali Jawa Barat. Dengan begitu, pemerintah daerah sudah punya cukup anggaran untuk membebaskan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh rumah tangga.

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga
Grafik 2. Pengeluaran Pendidikan Rumah Tangga vs Anggaran Pendidikan per Kapita tahun 2021. Sumber: Susenas Modul Pendidikan dan Neraca Pendidikan Daerah, 2021, diolah penulis, Author provided (no reuse)

Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat di kawasan Indonesia timur memiliki pengeluaran pendidikan terendah. Sementara DKI Jakarta dengan Rp12 juta per kapita mencatat pengeluaran dan anggaran pendidikan per kapita tertinggi nasional.

Perbedaan pengeluaran antarwilayah ini juga menunjukkan ketimpangan antardaerah dalam pengeluaran pendidikan rumah tangga dan kapasitas fiskal pendidikan. Ini menegaskan, meskipun pemerintah sudah memiliki program pembiayaan pendidikan, masih terdapat beberapa persoalan sebagai berikut:

1. Kontribusi rumah tangga di Indonesia masih besar

Grafik 3 menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan rumah tangga terus meningkat meski ada program pembiayaan pendidikan pemerintah seperti bantuan operasional sekolah (BOS) (2005) dan program Indonesia pintar (PIP) (2014) yang awalnya menekan kenaikan biaya namun tidak berlangsung lama.

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga
Grafik 3. Rata-rata Pengeluaran Pendidikan Rumah Tangga (Rp) Sumber: Susenas Modul Pendidikan, diolah penulis (nilai konstan 2021) Catatan: Dikarenakan keterbatasan kepemilikan data, Susenas 2012 tidak ditampilkan dalam analisis, Author provided (no reuse)

BOS, yang dimulai pada tahun 2005 dengan anggaran 5,1 triliun rupiah dan dialokasikan untuk jutaan siswa SD dan SMP untuk mengurangi biaya operasional pendidikan, (saat ini sudah untuk semua jenjang pendidikan).

Namun, pengeluaran pendidikan rumah tangga meningkat signifikan pada tahun 2009. Selanjutnya, pada tahun 2014, PIP ditujukan untuk siswa miskin guna memperluas partisipasi pendidikan dan mencegah putus sekolah. Seperti halnya BOS, efek PIP hanya sementara.

2. Semakin miskin semakin rentan

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga
Grafik 4. Proporsi Pengeluaran Pendidikan Rumah Tangga terhadap Pengeluaran Rumah Tangga Keseluruhan per Kuintil (%) Sumber: Susenas Modul Pendidikan dan Konsumsi, diolah penulis, Author provided (no reuse)

Analisis juga mengungkap bahwa rumah tangga termiskin menghabiskan lebih dari 10% dari total pengeluaran mereka untuk pendidikan setelah tahun 2006. Angka tersebut mencapai puncaknya dengan porsi lebih dari 15% pada tahun 2015 (Grafik 4). Temuan ini berbeda dengan studi di Timur Tengah or Turki yang menunjukkan proporsi pengeluaran pendidikan meningkat seiring pendapatan.

Biaya pendidikan yang sama untuk semua—sementara pendapatan rumah tangga miskin rendah—mungkin menyebabkan hal ini. Meski ada dana BOS dan PIP yang terus meningkat anggarannya hingga saat ini, program-program ini belum cukup menekan pengeluaran pendidikan rumah tangga miskin.

3. Uang saku adalah komponen pengeluaran pendidikan terbesar

Komposisi uang saku siswa di sekolah negeri lebih besar dari sekolah swasta, namun SPP dan uang pangkal di sekolah negeri lebih kecil (Grafik 5). Hal ini karena sekolah negeri sudah dibiayai pemerintah, sedangkan sekolah swasta mengandalkan SPP dan uang pangkal.

[The Conversation] Subsidi belum efektif kurangi tingginya beban pengeluaran pendidikan rumah tangga
Grafik 5. Komposisi Jenis Pengeluaran Pendidikan Rumah Tangga per Siswa berdasarkan Status Sekolah tahun 2021 (%) Sumber: Susenas Modul Pendidikan, 2021, diolah penulis, Author provided (no reuse)

Pengeluaran pendidikan terbesar saat ini adalah uang saku untuk makan minum di sekolah. Komponen lain seperti seragam, alat pembelajaran, transportasi, dan kuota internet tidak berbeda signifikan (Grafik 5).

Pola pengeluaran pendidikan rumah tangga di negara lain beragam, contohnya di Yunani, pengeluaran terbesar digunakan untuk les bahasa asing, sementara di Amerika Serikat (AS), SPP dan uang pangkal memiliki proporsi terbesar.

Apa solusinya?

1. Penyesuaian besaran satuan biaya secara rutin

Karena biaya SPP dan uang pangkal sekolah negeri masih tinggi, keberadaan program BOS sangat penting. Penyesuaian satuan biaya dana BOS per siswa diperlukan agar relevan dengan kenaikan biaya pendidikan, inflasi, dan kebutuhan tiap wilayah. BOS majemuk harus dilanjutkan untuk alokasi dana yang adil berdasarkan kondisi geografis, sosial, dan ekonomi tiap daerah.

2. Perbaikan tata kelola PIP

Biaya personal siswa seperti alat pembelajaran, seragam, dan uang transportasi masih menjadi beban rumah tangga khususnya yang berpenghasilan rendah (Grafik 5).

Bahkan hingga saat ini, siswa yang seharusnya mendapatkan haknya malah tidak menerima dan sebaliknya yang tidak layak menerima justru menjadi penerima dalam PIP.

Untuk meningkatkan akurasi target program, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) perlu diperbarui secara berkala. Integrasi Data Pokok Pendidikan (Dapodik) And EMIS perlu disempurnakan, dan basis data siswa miskin serta anak tidak sekolah (ATS) yang kuat perlu dibangun di tiap daerah.

Implementasi PIP juga perlu perbaikan. Hal tersebut mencakup pengusulan penerima yang lebih terstruktur, penyaluran dana yang tepat waktu, mekanisme pencairan yang mudah dipahami, pemanfaatan dana yang diaudit secara rutin, serta monitoring dan evaluasi yang melibatkan perangkat daerah terkait.

3. Optimalisasi program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Makan Bergizi Gratis, masyarakat miskin, uang saku, biaya sekolah
Program Makan Bergizi Gratis perlu dibuat lebih tepat sasaran. Wulandari Wulandari/shutterstock

Analisis kami juga menemukan bahwa uang saku, yang diasumsikan untuk konsumsi makanan (karena transportasi sudah terpisah dalam komponen tersendiri) adalah komponen biaya out-of-pocket (pengeluaran langsung) terbesar untuk pendidikan.

Program MBG dapat mengurangi pengeluaran ini. Sehingga, program ini sebaiknya bersifat intervensi terarah (targeted) ke sekolah dan daerah miskin dengan ATS tinggi, bukan universal. Selain itu, program ini juga memerlukan tata kelola dan implementasi yang transparan dan berkualitas dengan pelibatan warga sekolah dan masyarakat.


Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.