Article 33 Indonesia, sebagai salah satu lembaga perantara (Lemtara) yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk menyalurkan dana proyek TERRA-CF 2024 kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA), telah menyelenggarakan kegiatan sosialisasi legalitas dan badan hukum bagi lembaga ekonomi MHA dari MHA Marena, MHA Orong, dan MHA Tangsa pada Sabtu, 22 Februari 2025 lalu. Kegiatan yang dihadiri oleh 27 masyarakat laki-laki dan perempuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adat mengenai pentingnya legalitas usaha dan prosedur pendirian badan hukum. Dengan adanya badan hukum yang sah, kelompok usaha masyarakat adat diharapkan dapat lebih mudah mengakses pasar yang lebih luas, mendapatkan dukungan dari pemerintah, serta memperkuat ekonomi berkelanjutan berbasis komunitas.
Usaha berbasis komunitas yang dijalankan oleh MHA Marena, MHA Orong, dan MHA Tangsa memiliki potensi ekonomi yang besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, agar dapat lebih kompetitif dan berkelanjutan, aspek legalitas usaha masih perlu diperkuat. Kurangnya pemahaman mengenai mekanisme legalitas dan prosedur pendirian badan hukum menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh MHA. Hal tersebut diperparah dengan terbatasnya akses terhadap dukungan pengembangan ekonomi dari pemerintah maupun sektor lainnya. Oleh karena itu, kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Article 33 Indonesia berperan sebagai langkah strategis untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif sekaligus mendorong kelompok usaha masyarakat adat agar dapat berkembang secara berkelanjutan.
Sesi utama kegiatan sosialisasi diawali dengan pemaparan oleh Drs. Sadikin selaku Kepala Dinas Koperasi, UKM, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Enrekang yang menjelaskan mengenai mekanisme legalitas produk usaha serta potensi dukungan pengembangan ekonomi masyarakat adat. Materi ini menjadi landasan awal bagi peserta dalam memahami pentingnya legalitas dalam menjalankan usaha mereka.

Setelah itu, sesi kedua dilanjutkan dengan pembahasan mengenai gerakan kemandirian ekonomi masyarakat adat melalui pengelolaan hutan adat di Kabupaten Enrekang, yang disampaikan oleh perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Sesi ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana pengelolaan sumber daya hutan dapat menjadi pendorong utama dalam membangun ekonomi berbasis komunitas.


Sebagai bagian dari kegiatan sosialisasi, sesi terakhir diisi dengan diskusi pengalaman bersama Ir. Patola, pemilik usaha Kopi Benteng Alla, yang membagikan praktik baik dalam mengelola usaha berbasis komunitas. Sesi ini memberikan kesempatan bagi peserta untuk belajar langsung dari pelaku usaha yang telah berhasil membangun bisnis berkelanjutan dengan tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Pemaparan ini menjadi jembatan penting bagi peserta dalam memahami langkah-langkah konkret yang dapat diterapkan dalam pengembangan usaha mereka.


Antusiasme peserta terlihat dari berbagai pertanyaan yang mencerminkan tantangan nyata dalam pengelolaan usaha dan pengembangan ekonomi berbasis komunitas. Salah satu isu yang banyak dibahas adalah penentuan masa kedaluwarsa produk olahan, di mana peserta ingin mengetahui apakah proses tersebut harus melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau dinas terkait. Selain itu, aspek teknis budidaya kopi juga menjadi perhatian, terutama mengenai jenis kopi yang cocok untuk ditanam di wilayah Toraja serta pola pemupukan yang tepat. Kendala administratif, seperti kesulitan dalam pengurusan izin usaha yang kini memerlukan pendaftaran online, juga menjadi sorotan utama. Hambatan ini menunjukkan pentingnya dukungan yang lebih inklusif dalam penyederhanaan akses informasi dan layanan perizinan bagi masyarakat adat.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi, masing-masing MHA didorong untuk menyusun Nomor Induk Berusaha (NIB) serta mengurus berbagai dokumen legalitas lainnya guna memperkuat dasar hukum usaha mereka. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mereka terhadap pentingnya legalitas usaha dan badan hukum bagi lembaga ekonomi masyarakat adat. Dengan legalitas yang lebih jelas, komunitas dapat mengembangkan usaha secara lebih mandiri, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, serta menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang mereka miliki. Lebih jauh, inisiatif ini juga membuka peluang kolaborasi antara masyarakat adat, pemerintah, Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), organisasi non-pemerintah (NGO), dan pemangku kepentingan lainnya dalam menciptakan ekosistem usaha yang lebih inklusif dan berdaya saing.