Kerja A33Masyarakat AdatNatural Resource and Climate ChangePerhutanan SosialSulawesi Selatan

Kebudayaan Adat dan Perhutanan Sosial

Foto penulis

3 Menit

Tim Article 33 dengan warga MHA Marena di kawasan Perhutanan Sosial Marena

Pada tahun 2023, Pemberian izin program Perhutanan Sosial telah mencapai 5,3 juta hektar dari target 12,7 juta. Meski jumlah ini sudah cukup besar pencapaian ini masih jauh dari tujuan utamanya, yakni peningkatan tutupan deforestasi dan perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Perhutanan Sosial merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupa pendekatan pengelolaan hutan dan lingkungan hidup yang melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya hutannya.

Salah satu penyebab hal ini adalah masih lemahnya kelembagaan masyarakat adat hutan pasca terbitnya izin Perhutanan Sosial. Penguatan kelembagaan Masyarakat Hukum Adat merupakan pendekatan yang krusial dalam menangai isu ini karena kearifan budaya dan pengetahuan lokal yang dimiliki MHA masing-masing.

Untuk hidup dalam harmoni bersama alamnya, suatu masyarakat pasti punya sistem pengorganisasian sosial yang mengelola lingkungan sekitarnya. Melalui program Perhutanan Sosial, negara secara resmi memberikan hak masyarakat adat untuk memadukan kebudayaan lokal dengan praktik pengelolaan hutan modern guna menggunakan sumber daya dan menjaga hutan.

Kawasan Perhutanan Sosial Kabupaten Enrekang

Pada tanggal 26-30 September lalu tim Article 33 Indonesia yang didukung Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mengunjungi Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kunjungan ini adalah bagian dari Program Penguatan Kapasitas Kelembagaan bagi Masyarakat Hukum Adat. Sejak penerbitan SK Perhutanan Sosial pada tahun 2018, sebanyak 108 MHA telah menerima SK Hutan Adat. Dari 108 tersebut 48-nya sudah memiliki KUPS.

KUPS (Kelompok Usaha Perhutanan Sosial) adalah kelompok yang terdiri dari masyarakat setempat yang terlibat dalam kegiatan usaha di area Perhutanan Sosial. KUPS ada sebagai wadah ekonomi alternatif dan kerakyatan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Pada kesempatan ini Article 33 mengunjungi kawasan hutan MHA Marena, MHA Orong, dan MHA Tangsa. Di antara ketiga MHA ini, Tangsa belum memiliki KUPS-nya sendiri. Namun tentu saja Tangsa memiliki struktur masyarakatnya sendiri untuk hidup secara bersamaan dengan alam yang ada di sekitarnya.

Budaya Adat sebagai Pengorganisasian Perhutanan Sosial

MHA Tangsa menghidupi tanah adat seluas 115 hektar. Melalui program Perhutanan Sosial, tanah adat Tangsa ini telah diakui secara resmi oleh negara. Tanah ini diatur oleh tiap pemangku adat, yang mana terdapat tujuh di Tangsa. Tanah ini dimanfaatkan menjadi kebun hortikultur seperti kol, bawang, terong, dan kebun kopi dan cengkeh. Tanah ini digunakan secara hak komunal, hal ini memunculkan peraturan tidak tertulis bahwa lahan perkebunannya tidak dapat ditanami tanaman-tanaman jangka pendek.

Masyarakat Tangsa masih melestarikan kearifan budaya mereka dalam bentuk ritual-ritual. Salah satunya adalah “Mapakan indo membakka” yang dilakukan setelah panen agar hasilnya bagus. Atau “Makmammang” yakni ritual untuk menolak ancaman dari luar dengan doa-doa. Juga “Menganta” yakni prosesi pengobatan massal yang dilakukan dengan berinteraksi dengan ruh nenek moyang. Meski tidak dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat Tangsa seperti dulu, kearifan budaya ini masih hidup di beberapa bagian masyarakatnya.

WhatsApp Image 2024 12 12 at 10.45.58 3 scaled
Rumah Tongkonan MHA Tangsa di kawasan Perhutanan Sosial, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

Aspek kultur lain yang berguna dalam pengelolaan hutan salah satunya adalah pensakralan daerah mata air di tengah hutan adat Tangsa. Hal ini membebaskan area tersebut dari kegiatan pertanian atau pembukaan lahan sehingga menjaga sumber air yang dipakai oleh seluruh warga MHA Tangsa.

MHA Orong menghidupi tanah adat seluas 181 hektar. Kepala adat, pemangku adat lain, dan garis keturunan besar yang disebut “Batu Ariri” memiliki peran sentral dalam pengelolaan tanah adat Orong. Tanah adat Orong dikelola secara komunal yang digilir garapannya selama dua tahun sekali oleh tiap kepala keluarga.

Pembagian ini diatur dalam musyawarah adat yang dilaksanakan di akhir tahun kedua. Kepala adat menghafal ribuan nama warga MHA Orong serta persilsilahannya sehingga pembagiannya berlaku adil dan merata.

Dari pembagian ini, agar tanahnya lestari dan memberikan manfaat kepada sesama, terdapat peraturan tersirat, antara lain: untuk menyisihkan infaq 2.5% dari hasil panen, larangan pembabatan lahan baru tanpa musyawarah, larangan tanam jangka panjang (hanya kentang, padi, jagung, dsb.), dan tentunya larangan sertifikasi pribadi tanah.

Namun, budaya penghafalan persilsilahan (atau “ariri) ini juga memberikan tantangan bagi ketiga MHA di Kabupaten Enrekang ini. Ketiga kepala adat yang kami temui semuanya sudah cukup berumur; hafalan garis keturunan yang jumlahnya ribuan, dan bentuk kaderisasi lainnya menjadi rintangan yang besar untuk generasi muda yang akan menggantikan mereka. Hal ini menggambarkan bahwa kelembagaan MHA amat diperlukan untuk menyokong kebudayan adat dalam pengelolaan Perhutanan Sosial.

Nilai-nilai budaya ini tidak hanya menjadi ekspresi spiritual maupun gaya hidup masyarakat, tetapi juga bentuk panduan mereka dalam berinteraksi dengan ekosistemnya. Budaya menanamkan ikatan emosional dan tanggung jawab kolektif terhadap pengelolaan lingkungan.

Dengan memadukan budayanya dengan pengelolaan Perhutanan Sosial, masyarakat adat dapat menciptakan pendekatan yang lebih arif, sekaligus menetapkan identitas mereka sebagai pewaris hutan adatnya sejak turun-temurun.