Di dunia internasional, dalam konteks mitigasi perubahan iklim, nama Indonesia berkibar sebagai negara terdepan dalam inisiatif penurunan emisi melalui deforestasi dan degradasi lahan. Muncul euforia. Berbagai inisiatif lantas menjamur meski manfaat langsungnya masih jadi pertanyaan banyak pihak.
Indonesia menargetkan pengurangan emisi nasional 26 persen dan 41 persen di bawah emisi jika tanpa intervensi. Emisi dari hutan, lahan, dan gambut mencakup 78,3 persen.
Setelah lebih dari lima tahun inisiatif REDD+ (penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan) berlangsung, panduan atau peraturan dari pemerintah tentang pembagian manfaat tak kunjung ada.
Banyak isu terlibat di dalamnya. Mulai dari pemahaman tentang apa itu manfaat (benefit) yang harus dibagikan, sumber keuangan mana untuk itu, bagaimana pelibatan para pihak, hingga bagaimana mekanismenya untuk memastikan prosesnya transparan dan akuntabel, dan lain-lain.
”Sampai sekarang belum ada desain teknis dan regulasi yang betul-betul bisa jalan,” kata Kepala Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Etti Ginoga, seusai diskusi ”REDD+ : Benefit Sharing Mechanism (BSM) untuk Hutan Adat” yang diselenggarakan ProRep, Selasa (24/2), di Jakarta.
Pembicara kuncinya Sonny Mumbunan, ekonom dari Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia dan rekanan pendiri (co-founder) Article 33. Sebagai penanggap, Sekretaris Jenderal Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) Yenny Sucipto dan Etti Ginoga.
Menurut Etti, BSM harus memenuhi prinsip sederhana, bisa diukur, target bisa dicapai, rasional, serta tepat guna, tepat waktu, dan tepat sasaran.
Yenny mengatakan, ”Komitmen penurunan emisi tidak diikuti komitmen anggaran.” Dana, sektor kehutanan nomor dua paling kecil, sekitar 25 persen untuk energi—dana terbesar. Ia menegaskan, BSM harus transparan dan akuntabel.
Soal sumber dana, Sonny mengatakan, sumber pendanaan bisa berasal dari mobilisasi sumber domestik seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan skema internasional. Penyaluran kepada masyarakat adat bisa melalui program sesuai rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) atau rencana kerja yang berbasis masyarakat adat. Namun, sampai sekarang pun belum ada kesepakatan dari mana BSM harus dikeluarkan.
Sementara ketiganya senada menyatakan pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam penyusunan BSM.
Menurut Sonny, di Indonesia, di mana hutan dimiliki negara dan berlaku desentralisasi pengelolaan hutan dan desentralisasi fiskal, maka BSM sebaiknya bersumber dari public finance (keuangan negara). Persoalannya, justru di kementerian keuangan dan kementerian terkait belum ada kesepakatan.
Sejak 2007, banyak pihak melakukan inisiatif REDD+. Kebanyakan didanai donor luar. Yang terbesar, yaitu kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia melalui Letter of Intent.
Inisiatif REDD+ sudah banyak, tetapi banyak pihak rupanya belum siap. (ISW)
KOMPAS edisi Sabtu 28 Februari 2015 * Halaman: 14 * Penulis: ISW