Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT Freeport Indonesia
Aksi PT Freeport Indonesia, ogah izin kontrak karya berubah jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kalau mau ekspor mineral mentah, mendapat banyak sorotan. Berbagai kalangan angkat bicara dari soal ‘kebiasaan’ perusahaan dapat hak istimewa sampai kritikan rebut-ribut Freeport hanya soal uang tetapi absen urusan keselamatan orang dan lingkungan Papua.
Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, sejak 2014 hingga sekarang Freeport telah ekspor 4,55 juta ton konsentrat yang bisa menghasilkan 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 troy ons emas.
Dia memperkirakan, keuntungan Freeport selama dua tahun masa perpanjangan ekspor konsentrat sampai US$256 miliar atau Rp3.328 triliun.
“Angka ini senilai dua kali APBN Indonesia,” katanya.
Pada 2014, Freeport menyetor pajak dan royalti Rp5,6 triliun. Tahun sama, pendapatan negara APBN Rp1.667,1 triliun. “Artinya, besaran pajak dan royalti Freeport tak sampai 0,4% pendapatan negara,” katanya.
Dia menilai, isu antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, sama-sama tak bicara soal keselamatan rakyat dan lingkungan. Hanya kepentingan ekonomi sebagai bahasan utama. Padahal, perbincangan Freeport tak boleh mengabaikan keselamatan rakyat, lingkungan hidup, pelanggaran hukum dan HAM selama ini di Papua.
“Terkait izin ekspor, kan sebenarnya pemerintah sudah berkali-kali melonggarkan izin ekspor.”
Catatan Jatam, katanya, sudah ada lima kali rekomendasi ekspor sejak 2014. Dalam UU 4/2009 tentang mineral dan batubara ada kewajiban hilirisasi dengan bangun pabrik smelter, tenggat waktu lima tahun sejak 2009.
“Berarti 2014. Karena pemerintah terlalu lunak kepada Freeport, terjadi lima kali pelanggaran,” katanya.
Pemerintah, sejak awal sudah melanggar UU Minerba. Kalau pemerintah konsisten, harusnya sejak 2014 sudah sanksi atau upaya-upaya hukum, politik buat menghentikan ekspor konsentrat Freeport.
“Sekarang sudah berjalan lima kali rekomendasi izin ekspor. Yang keenam kali, dalam bentuk penawaran IUPK dan rekomendasi ekspor. Celakanya pemerintah juga melanggar.”
“Dua-duanya setali tiga uang, karena hanya mementingkan kepentingan ekonomi di atas keselamatan rakyat dan lingkungan, hukum dan HAM.”
Dia juga memandang DPR tak pernah meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah atas pelanggaran UU Minerba ini.
“Mestinya DPR memanggil pemerintah mengapa melanggar UU? Kecuali UU itu direvisi. Sampai sekarang belum direvisi. Pemerintah terus memberikan diskon kepada Freeport.”
Sumber: PT Freeport Indonesia
Dia meminta, pemerintah tegas menjalankan mandat UU Minerba dan tak usah khawatir ancaman PHK massal dan sengketa arbitrase.
“Kedaulatan hukum ada di tangan kita. Kalau Freeport melanggar, mengapa pemerintah harus takut arbitrase? Sampai pengadilan akhirat pun kalau kita benar, ya ladeni saja.”
Dia meminta, pemerintah moratorium izin Freeport. “Setop semua pertambangan Freeport. Evaluasi menyeluruh termasuk soal lingkungan hidup, pelanggaran hukum dan HAM.”
Freeport, katanya, telah melakukan pengemplangan pajak. Kasus pajak air permukaan saja, nilai lebih Rp32 triliun.
“Sekarang atas nama ribuan pekerja menakut-nakuti pemerintah. Jadi alat mengancam pemerintah. Ini trik lama dalam pertambangan. Tanpa mengurangi hormat kita kepada rekan-rekan buruh, Freeport juga jangan jadikan para buruh sebagai alat tawar. Jangan begitu. Itu sama saja jadikan manusia bidak catur, mau diadu domba. Ini kejam sekali taktiknya,” ucap Merah.
Dia bilang, pabrik smelter Freeport juga belum terealisasi, pembangunan di Gresik, progress sangat lambat. “Hadirnya smelter itu juga harus dicek. Apakah dapat nilai tambah ekonomi, bagaimana dengan rantai kerusakan akibat pembangunan smelter?“
Ermy Ardhyanti, Koordinator Divisi Ekstraktif Industri Article 33 mengatakan, persoalan ekspor konsentrat Freeport muara ada pada kewajiban membangun smelter. Freeport selama ini tak patuh.
“Pemerintah sudah lunak dengan memberikan relaksasi beberapa kali. Kemudian bergeser menjadi semacam bargaining position untuk perpanjangan kontrak karya. Mereka gunakan angka investasi untuk bargaining perpanjangan kontrak karya,” katanya.
Selama ini, katanya, tak ada transparansi, terutama menyangkut kontribusi Freeport kepada Indonesia.
Dia berharap, pemerintah konsisten dengan regulasi. Soal pemurnian pengolahan hasil tambang saat ini, katanya, ada ketidakpastian hukum ketika pemerintah memberikan hak istimewa pada perusahaan tertentu.
Seharusnya, kepastian investasi bukan Freeport saja. Pembangunan smelter bukan tawar menawar, tapi kewajiban.
Markus Haluk, tokoh muda Papua berharap Freeport di Papua bisa berhenti total. “Suatu saat pemerintah akan mencari pemilik saham sesungguhnya yakni rakyat Papua sebagai pemilik tanah,” katanya.
Saat ini, katanya, seharusnya jadi waktu tepat untuk tak hanya membicarakan perut dan ekonomi mereka, tetapi soal jaminan HAM, ekonomi, social dan budaya Papua.
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice meminta, Pemerintah Indonesia tak menghiraukan ancaman gugatan Freeport dan konsisten mengimplementasikan amanat UU Minerba.
“Upaya hukum Freeport strategi kuno untuk meningkatkan posisi tawar. Jangan sampai pengalaman gugatan Newmont 2014 terulang. Newmont menggugat Indonesia ke ICSID untuk meningkatkan posisi tawar. Terbukti, Newmont mencabut gugatan 25 Agustus 2014. Pemerintah mengeluarkan izin ekspor Newmont terhitung sejak 18 September 2014 hingga 18 Maret 2015.”
Rachmi menilai, ancaman arbitrase Freeport tak terkait dengan tuduhan wanprestasi Pemerintah Indonesia atas isi kontrak karya tetapi enggan menjalankan UU Minerba. Lalu, Freeport menggunakan mekanisme investor-state dispute settlement (ISDS). untuk menghindar dari kewajiban.
“Pemerintah jangan mau tunduk pada Freeport dan terus paksa Freeport tunduk aturan UU Minerba.”