Liputan MediaEducation

[KOMPAS] Akses dan Mutu Timpang * Perlu Kebijakan yang Berpihak pada Warga Miskin

Foto penulis

3 Menit

JAKARTA, KOMPAS — Meski akses ke sekolah formal terus membaik, sebagian besar siswa miskin mengenyam sekolah bermutu rendah. Sekolah seperti ini, antara lain, dicirikan dengan hasil nilai ujian nasional rendah dan berakreditasi C. Perlu kebijakan yang berpihak pada warga miskin.

Persoalan ketimpangan akses pada pendidikan berkualitas tersebut terungkap dari hasil studi berjudul ”Kualitas Pendidikan untuk Siapa? Studi tentang Kesenjangan Akses Masyarakat Miskin pada Akses Pendidikan Berkualitas”. Studi tersebut dilakukan lembaga riset untuk perubahan sosial Article 33 bekerja sama dengan Program Knowledge Sector Initiative (KSI).

Hasilnya dipaparkan dalam diskusi di Jakarta, Selasa (9/5), oleh Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso. Hadir pula sebagai pembahas Wakil Rektor Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto dan peneliti senior SMERU Research Institute Heni Kurniasih.

Santoso menjelaskan, studi itu dilakukan di lima daerah, yakni Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kota Malang (Jawa Timur, Kota Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat). Studi ini berfokus menelaah akses masyarakat miskin terhadap pendidikan yang berkualitas.

”Jika masyarakat miskin telah memperoleh layanan pendidikan, tetapi kualitas sekolah itu rendah, keluaran yang dihasilkan pun tidak baik. Lulusannya tidak bisa bersaing dalam pasar kerja sehingga tidak mampu keluar dari perangkap kemiskinan,” papar Santoso.

Selama lebih kurang 13 tahun (2000-2013), angka partisipasi murni (APM) SD konsisten di atas 90 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kaya dan miskin. Di tingkat SMP, APM naik dari 60 persen ke 70 persen, yang menunjukkan penduduk miskin naik dari 45 persen jadi 65 persen. Adapun di SMA, APM naik dari 40 persen ke 53 persen, mencerminkan warga miskin naik dari 20 persen menjadi 30 persen.

”Dengan keragaman kualitas pendidikan yang disediakan, siswa miskin cenderung bersekolah di sekolah negeri dan swasta yang kurang mutunya. Sebaliknya yang kaya berada di sekolah berkualitas,” ujar Santoso.

Menurut Santoso, hasil analisis menunjukkan jumlah penerima Program Indonesia Pintar (untuk siswa miskin) cenderung lebih banyak di sekolah yang mempunyai nilai ujian nasional rendah. Terlihat di Kota Bogor, siswa penerima PIP terbanyak di daerah pinggiran dan menengah yang berkolerasi dengan nilai UN yang rendah jika dibandingkan dengan penerima PIP di pusat kota.

Di Kota Malang, persentase siswa miskin di sekolah negeri berakreditasi A justru terendah jika dibandingkan yang ada di sekolah swasta berstatus A dan B. Terbanyak justru berada di sekolah swasta berakreditasi C.

Menurut Santoso, kondisi tersebut karena ketimpangan pendidikan berkualitas. Dalam seleksi siswa baru, umumnya mengacu pada hasil UN dan perankingan. Akibatnya, siswa miskin di sekolah berkualitas rendah kian tak punya peluang.

”Ada afirmasi memberi kuota siswa miskin di sekolah unggulan. Tapi program ini tidak disosialisasikan dengan baik. Akibatnya, kuota 20 persen untuk siswa miskin tidak terpenuhi.

Totok mengatakan, mutu sekolah harus ditingkatkan dan merata. Upaya krusial adalah menyediakan guru berkualitas, mereformasi kurikulum, meningkatkan dengan desentralisasi pendidikan, termasuk sekolah berbasis manajemen, serta komitmen berkelanjutan dari pemerintah pusat dan daerah pada sistem pendidikan bermutu.

Perwakilan KSI Hans Antlov mengatakan, pembenahan pendidikan harus dilakukan secara serius dari jenjang pendidikan dasar. ”Kami mendorong Pemerintah Indonesia membuat kebijakan dengan berbasis riset dan analisis. Riset ini dapat menjadi masukan untuk perbaikan kebijakan yang berpihak pada warga miskin,” ujar Hans.

(ELN)

Grafik: Pendidikan Terakhir Rumah Tangga yang Tetap Miskin

hal. 11

http://www.kompasdata.id/Search/NewsDetail/30234275