Article 33 Indonesia pada pertengahan 2019 mulai melaksanakan studi bersama Kemenko PMK terkait dengan penguatan peran Kecamatan di daerah perbatasan. Pada tanggal 10 Desember 2019, telah dilakukan diseminasi awal terkait studi tersebut dengan judul tema diseminasi “Pengembangan Kawasan Perbatasan: Perspektif Keamanan atau Kesejahteraan?”. Diseminasi dihadiri oleh: (1) Risfan Munir selaku peneliti studi tersebut; (2) Wijanarko Setyawan yang merupakan Asisten Deputi Pemberdayaan Kawasan Strategis dan Khusus, Kemenko PMK; (3) F. Gatot Yanrianto Asisten Deputi Potensi Perbatasan Kawasan Laut BNPP.
Studi ini dilatarbelakangi oleh lemahnya peran Kecamatan pada pembangunan di daerah perbatasan, padahal Kecamatan seharusnya dapat menjadi pemeran utama yang mampu mengkoordinasikan pembangunan dari tingkat bawah dan atas (Desa dan Kabupaten). Selain itu, peran Kecamatan yang lebih kuat juga dibutuhkan agar stigma daerah perbatasan yang awalnya menjadi halaman belakang Negara dapat berubah menjadi wilayah terdepan Negara. Studi dilakukan di dua wilayah, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) dan Timor Tengah Utara (TTU). Jumlah Lokpri di TTU jauh lebih banyak yaitu mencakup 7 kecamatan dibandingkan Sergai yang hanya 1 kecamatan yaitu Tanjung Beringin. Meskipun demikian, lokpri di Sergai menjadi strategis dengan keberadaan Pulau Berhala, dengan jarak 22 mil maka memperluas wilayah laut dari seharusnya hanya 12 mil. Lokpri di TTU berbatasan darat dengan Timor Leste di daerah enclave Oecussi.
Selama lima tahun terakhir kebijakan pembangunan Kawasan perbatasan masih bersifat inward looking, namun lambat laun hal tersebut mulai berubah menjadi outward looking. Hal tersebut mengartikan bahwa daerah perbatasan merupakan gerbang atau beranda depan dalam hubungan kita dengan negara-negara tetangga. Peneliti Article 33 Indonesia Risfan Munir menjelaskan bahwa fokus pemerintah kepada kecamatan lokpri memberi keuntungan karena pendekatan tersebut memungkinkan anggaran bisa berasal dari atas, yaitu kementerian/lembaga (K/L) pada tingkat nasional dan organisasi pemerintahan daerah (OPD) pada tingkat provinsi dan kabupaten, maupun dari bawah yaitu desa, dengan adanya badan usaha milik desa (Bumdes) dan dana desa. Kemudahan tersebut ditujukan untuk mengurangi tingkat keterisolasian daerah Lokpri.
Asisten Deputi Pemberdayaan Kawasan Strategis dan Khusus Kemenko PMK Wijanarko Setyawan memaparkan kerangka koordinasi pembangunan dan kesejateraan di daerah perbatasan. Dalam hal ini, Kemenko-PMK fokus pada mendorong percepatan layanan dasar. Secara umum kondisi keterisolasian dan keterbatasan akses di perbatasan menyebabkan kemiskinan dan rendahnya pelayanan dasar. Setiap kabupaten bertugas menjalankan pelayanan dasar, dengan menjadikan kawasan perbatasan sebagai bagian pembangunan wilayah regional. Sebagai gambaran, total di seluruh Indonesia terdapat 187 kecamatan lokpri yang tersebar di 13 provinsi dan 41 kabupaten/kota dengan mencakup 1.674 desa/kelurahan, tersebar hampir merata baik di Indonesia barat (65), tengah (60), dan timur (62). Mengenai kondisi daerah perbatasan, Indeks Pembangunan Manusia pada 2015-2018 menunjukkan kenaikan pertumbuhan baik daerah tertinggal (3,46%) maupun daerah perbatasan (2,89%) melebihi pertumbuhan IPM nasional (2,65%). Kontras dengan hal yang telah disampaikan, Wijanarko melontarkan adanya kontradiksi dalam pembangunan di perbatasan. Di Kabupaten Sintang, daerah perbatasan kebanyakan berupa daerah konservasi sehingga sulit dilakukan pembangunan. Di dalamnya terdapat pula masyarakat adat yang belum mendapatkan perlindungan hukum.
Asisten Deputi Potensi Perbatasan Kawasan Laut BNPP F. Gatot Yanrianto menyoroti aspek lain dari persoalan daerah perbatasan, yaitu menyangkut keamanan hingga lingkuhan hidup. Sebagai catatan, garis perbatasan darat Indonesia mencapai 3.152 km dengan panjang garis pantai 99.900 km atau nomor dua di dunia setelah Kanada. Indonesia berbatasan darat dengan 3 negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste, sedangkan perbatasan laut sebanyak 10 negara.
Terdapat 4 aspek utama dalam pengelolaan perbatasan. Pertama, pengelolaan batas wilayah negara, mencakup antara lain penyelesaian batas darat, laut, dan udara serta pemanfaatannya. Sejauh ini tersisa 2 batas yang belum disepakati di Nusa Tenggara Timur (NTT), sedangkan laut dan udara masih banyak yang belum disepakati. Kedua, pengelolaan lintas batas negara, antara lain pencegahan criminal border, illegal trafficking, hingga terorisme. Ketiga, pembangunan kawasan perbatasan, di mana masalah yang cukup dominan adalah elektrifikasi. Hampir semua masalah di perbatasan apalagi pulau harus tersedia genset, ditambah masalah pasokan BBM. Selain itu, jaringan internet yang cukup dibutuhkan oleh daerah perbatasan seperti halnya ujian sekolah sekarang berbasis komputer. Keempat, pengelolaan kelembagaan, diharuskannya pembentukan BPPD yang memerlukan adanya Peraturan Daerah (Perda), diperlukan konsultasi intense dengan Kemendagri dalam proses pembentukannya.