Upaya pemadaman hutan di lahan gambut Kalimantan, 24 September 2015.
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Jakarta – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pecinta lingkungan yang tergabung di dalam Koalisi Anti Mafia Hutan membeberkan beberapa kejanggalan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang menolak gugatan pemerintah terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp 7,9 triliun.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT BMH, salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group- terlibat terkait kasus kebakaran hutan di Sumatera Selatan.
Koalisi Anti Mafia Hutan merupakan gabungan dari beberapa organisasi yang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Organisasi tersebut diantaranya adalah ICW, YLBHI, AURIGA, PWYP, JIKALAHARI, Riau Corruption Trial, Eyes on Forest, Arupa Sajogyo Institute, PIL-NET, Article 33.
Dalam keterangan pers bersama di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (6/1), peneliti dari Yayasan AURIGA Nusantara, Sahrul membeberkan kejanggalan tersebut.
Pertama, majelis hakim lalai memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kehutanan tentang pertanggungjawaban pemegang konsesi. Kewajiban pemegang izin menjaga area konsesinya sudah disebutkan dalam pasal 23 dan 24 PP 45/2004 jo PP 60/2009, di mana berbagai upaya yang harus dilakukan oleh pemegang konsesi dalam pencegahan maupun pemadaman secara menyeluruh.
Kedua, majelis hakim tidak melihat dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada rusaknya ekosistem, beban biaya mitigasi karhutla, penyakit akibat karhutla, dan dari sektor perekonomian yang tersendat.
Alasan ketiga adalah karena majelis hakim tak paham konsep lingkungan hidup dan kehutanan.
Peneliti dari PWYP, Elizabeth Napitupulu mengatakan, hakim tak bisa membedakan antara fungsi kawasan hutan lindung dan fungsi ekosistem gambut.
“Misal, hakim membuktikan fungsi gambut dari kawasan hutannya, padahal dalam PP Nomor 71 tahun 2014 tentang ekosistem gambut penetapan fungsi lindung ekosistem gambut ditentukan dengan mekanisme yang berbeda,” kata dia.
Mereka juga mendesak Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim PN Palembang yang mengadili KLHK dan PT BMH,” kata peneliti ICW, Aradila Caesar.
Secara terpisah, Komisi Yudisial (KY) menyatakan hingga kini belum menemukan adanya pelanggaran etik hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang yang menolak gugatan tersebut.
“Kami belum tahu itu (dugaan pelanggaran etik), kalau ada laporan baru ditelusuri ya,” ujar Plt. Ketua KY Maradaman Harahap saat dikonfirmasi wartawan usai bertemu pimpinan KPK di Gedung KY, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Komisioner KY Joko Sasmito mengatakan KY terus memantau kondisi di PN Palembang.
“Masih murni putusan, belum ada indikasi. Pergerakan pemantau. Kami tetap memonitor penghubung di Palembang,” kata dia seperti dikutip Antara.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung upaya banding pemerintah atas putusan pengadilan.
”Tentu kementerian LHK tidak puas, dia banding,” kata JK.
Kementerian LHK menggugat PT BMH atas terbakarnya lahan hutan konsesi seluas 20 ribu hektare pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Setelah proses sidang sejak Februari 2015, Majelis Hakim yang diketuai Parlas Nababan beranggotakan Kartidjo dan Eli Warti memutuskan untuk menolak gugatan KLHK dengan alasan tidak ada unsur yang merugikan negara sebagaimana didalilkan dalam gugatan KLHK.