JAKARTA, KOMPAS — Instrumen pengaturan imbal jasa lingkungan yang sedang disusun diharapkan bisa memastikan hasil atau kompensasi pembayaran kembali bagi pengelolaan dan perlindungan lingkungan. Dengan begitu, lingkungan dapat tetap memberi manfaat berkelanjutan.
Joko Tri Haryanto, peneliti pada Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Kamis (7/1), pada diskusi Forum Kajian Pembangunan di kantor Article 33 Indonesia di Jakarta, menyebutkan, sistem anggaran pemerintah belum mengenal konsep sumber pemasukan terkait tujuan pengeluaran (earmark). Namun, dalam praktiknya, konsep itu diterapkan pada anggaran pendidikan (20 persen) dan kesehatan (5 persen).
Di sisi lain, konsep earmark tak berjalan, seperti Pajak Kendaraan Bermotor yang idealnya dikembalikan untuk pembangunan transportasi. Kenyataannya, tak pasti peruntukannya.
”Setelah imbal atau pembayaran jasa lingkungan masuk ke APBD, jangan lupa dikawal penggunaannya,” kata Joko yang pernah melakukan studi persiapan imbal jasa lingkungan di Pagar Alam, Sumatera Selatan, dan Pangandaran di Jawa Barat. Karena tidak ada dasar hukum, earmark itu tergantung dari komitmen penganggaran politik daerah.
Komara Djaja, pakar ekonomi perencanaan kota dan daerah Universitas Indonesia, mengatakan, imbal jasa lingkungan perlu payung hukum untuk memberi kejelasan aturan main. ”Payung hukum bisa membantu pembayaran jasa lingkungan kembali (peruntukannya) untuk lingkungan,” katanya.
Pembayaran atau imbal jasa lingkungan hidup adalah pembayaran yang diberikan pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Jasa itu bisa berupa air, wisata, sumber genetika, dan edukasi.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Wijayanti memastikan akan memuat pengaturan earmark itu dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang disusunnya. ”Percuma kalau bayar, tetapi tidak ada jaminan purnajual,” ujarnya.
Isi RPP Instrumen Ekonomi LH, di antaranya soal Imbal Jasa Lingkungan. RPP itu ditargetkan rampung Juni 2016.
Pietra Widiadi, Green/Blue Economic Strategic Leader WWF Indonesia, mengharapkan regulasi tidak malah merusak praktik imbal jasa lingkungan di lapangan yang sudah berjalan. Ia mencontohkan kerja sama imbal jasa lingkungan PDAM di Lombok dengan komunitas masyarakat yang menjaga sumber air selama 10 tahun terakhir.
”Cukup beri kerangka yang jelas. Jangan sampai aturan malah merusak kerja sama yang telah terjalin,” ujarnya.
Joko menambahkan, RPP Instrumen Ekonomi LH yang disusun Kementerian LHK terlalu luas. Ia menunjukkan isi RPP menyangkut moneter, fiskal, dan asuransi lingkungan.
Poin yang diatur menyangkut pemasukan (pajak, retribusi, biaya masuk, pembayaran jasa lingkungan), penyediaan pendapatan (penghapusan/pengurangan pajak, hibah penelitian, dan pendanaan lingkungan), dan nonpendapatan (deposit–refund, ekolabel, asuransi, jaminan reklamasi). ”Ada 19 instrumen dijadikan satu PP. Malah bisa membingungkan,” katanya.
(ICH)
Halaman 14