Pemerintah perlu membuat mekanisme pengaduan bagi guru-guru yang dipaksa berpolitik praktis.
JAKARTA–Koalisi Masyarakat untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP) merilis temuan politisasi guru pada masa pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) serentak 2015. Koalisi ini terdiri atas lembaga swadaya masyarakat, yakni Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Satu Karsa Karya, Pattiro, Article 33, dan Paramadina Public Policy Institute. “Salah satu masalah guru adalah guru menjadi bahan politisasi,” kata Koordinator ICW Ade Irawan dalam diskusi Hari Guru Sedunia di Jakarta, Senin (5/10).
Ade menerangkan, guru kerap kali dijadikan objek untuk kepentingan politik, terutama di daerah. Mereka selalu dimanfaatkan sebagai ‘mesin pemenangan’ calon kepala daerah dalam pilkada. Menurut Ade, ICW menemukan kondisi tersebut di wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten. Para guru di wilayah itu sering kali dijadikan ‘pembuangan’ bagi pegawai negeri yang tidak mendukung pemenang pemilih.
Agar situasi ini tidak terjadi, ICW menyarankan pemerintah agar bisa mengantisipasinya. Terutama, lanjut dia, menjelang pilkada serentak pada Desember 2015. Pemerintah diharapkan bisa membuat surat edaran kepada daerah-daerah yang menyelenggarakan pemilihan agar tidak melibatkan guru dalam proses kampanye.
Ade juga berpendapat, pemerintah perlu membuat mekanisme pengaduan bagi guru-guru yang dipaksa untuk terlibat dalam proses pemenangan. Ini juga bisa menjadi tempat pengaduan untuk guru yang dikorbankan pascapemilu.
Penasihat Persatuan Guru Swasta Indonesia Suparman menambahkan, politisasi guru memang bukan suatu hal yang baru didengar. Ia mencontohkan, para guru yang bisa naik pangkat seperti bekerja di Dinas Pendidikan apabila berhasil memenangkan calon kepala daerah. Jika tidak, kata dia, mereka bisa kehilangan jabatannya.
Suparman menjelaskan, alasan mengapa para calon kepala daerah memanfaatkan guru. Pertama, mereka berjalan di aspek yang cukup ‘seksi’, yakni pendidikan. Mereka juga mudah ‘dibawa’ karena sistemnya birokratis. Selain itu, guru juga menjadi tokoh masyarakat yang mudah mengambil hati masyarakat.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Jimmy PH Paat menyebut ada enam masalah utama guru. “Dari hasil penelitian, kami memetakan enam masalah guru,” ungkap Jimmy. Selain masalah politisasi guru, perekrutan guru menjadi permasalahan yang tak kunjung mendapatkan jalan keluar.
Persoalan ini sebenarnya sudah terjadi pada fase awal, yakni di Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sejauh ini terdapat 417 LPTK di Indonesia, namun lembaga-lembaga itu ternyata belum mampu meluluskan guru-guru yang berkualitas. Bahkan, siswa yang masuk ke lembaga pendidikan ini bukanlah siswa terbaik.
Karena kondisi tersebut, Jimmy menyebut terdapat beberapa pihak sekolah yang mengkritisi ini. “Kalau bisa menjadi guru jangan gampang,” ungkap Jimmy.
Masalah lainnya adalah status kesejahteraan dan distribusi guru. Menurut Jimmy, selama ini antara guru swasta, negeri, dan honorer memiliki kerja yang sama. Namun, kesejahteraan mereka justru berbeda dan kondisi ini jelas tidak adil. Karena itu, Jimmy menyarankan agar para guru bisa diberi jalan untuk sertifikasi dan memperoleh kesejahteraan nantinya.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengungkapkan, distribusi guru menjadi masalah yang susah diatasi. “Ini karena banyak faktor yang memengaruhi,” kata Surapranata. Ia mencontohkan bahwa banyak guru yang tidak mau dipindahkan. Selain itu, pemerintah daerah juga tidak mau dan tidak berani memindahkan tempat kerja guru ke tempat lain. n c13 ed: andri saubani
http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/15/10/06/nvsh8c1-guru-dipolitisasi-jelang-pilkada