Oleh: Arianty Prasetiaty
Kepala Sub Bidang Sektor Transportasi, Manufaktur, Industri dan Jasa
Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH
Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Kalimantan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Lebih dari satu dasawarsa, desentralisasi diterapkan di Indonesia melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu sektor yang termasuk dalam desentralisasi tersebut adalah sektor pertambangan dan energi. Diperkuat dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagian kewenangan dalam perizinan dan pengawasan pertambangan umum didelegasikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Waktu itu desentralisasi sektor pertambangan dan energi ini diharapkan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dapat dilakukan dan dirasakan sebesar-besarnya di tingkat tapak sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara merata.
Kini desentralisasi yang telah berjalan lebih dari satu dasawarsa mengalami perubahan dengan diterbitkannya UU No. 23 Tahun 2014. Kewenangan kabupaten/kota dalam urusan pemerintahan di bidang kehutanan, kelautan dan energi sumber daya mineral kembali menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Implikasi dari perubahan kewenangan tersebut, khususnya untuk sektor pertambangan, dipandang akan menghilangkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memunculkan perdebatan mengenai Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam (SDA) khususnya sektor pertambangan umum. Sejauh ini perhitungan DBH SDA masih menggunakan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Namun demikian saat ini mulai diwacanakan untuk perubahan persentase bagi hasil (yang lebih besar ke Provinsi) berdasar pada pelimpahan kewenangan pertambangan.
Selengkapnya: http://kalimantan.menlhk.go.id/index.php/public/info/download/1433