Oleh ARIS PRASETYO
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah daerah yang punya hak membeli saham ditengarai tak punya cukup dana. Untuk itu, skema saham cuma-cuma kepada pemerintah daerah -tempat lokasi tambang- bisa menjadi jalan keluar. Selain itu, kewajiban perusahaan yang terlibat pengelolaan divestasi untuk menyampaikan laporan keuangan secara berkala, bisa diperketat.
Hal itu disampaikan peneliti kebijakan divestasi pada Article 33, sebuah lembaga riset untuk perubahan sosial, Iqbal Damanik, Kamis (23/2).
Iqbal mencontohkan, Kalimantan Selatan memiliki pendapatan asli daerah pada 2015 sekitar Rp 3 triliun. Sementara, dana yang diperlukan untuk membeli saham perusahaan tambang di daerah tersebut mencapai Rp 4,8 triliun.
“Artinya, tak ada dana yang cukup di daerah untuk membeli saham. Selain itu, ada potensi penyalahgunaan wewenang yang menjurus ke arah korupsi dalam perencanaan pengelolaan divestasi,” kata Iqbal.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Hadi Mulyadi, menambahkan, kebijakan divestasi untuk mewujudkan amanat konsitusi, di mana negara adalah pemilik sumber daya alam. Menurut dia, apabila sumber daya tambang dikelola sendiri, maka akan cukup untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 diatur divestasi saham perusahaan tambang mineral sedikitnya 51 persen hingga tahun ke-10 sejak perusahaan tersebut berproduksi. Pelepasan saham sedikitnya 51 persen itu dilakukan secara bertahap, yaitu pada tahun keenam sebesar 20 persen, tahun ketujuh sebesar 30 persen, tahun kedelapan sebesar 37 persen, tahun kesembilan sebesar 44 persen, dan tahun kesepuluh sebesar 51 persen. Jika pemerintah pusat tidak bersedia membeli, saham ditawarkan ke pemerintah daerah hingga ke swasta nasional.
https://kompas.id/baca/ekonomi/2017/02/24/daerah-tak-punya-dana-untuk-beli-saham/