Proses renegosiasi antara Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia yang alot dan menjadi pemberitaan media massa menunjukkan bahwa kepastian hukum dan iklim investasi yang kondusif bagi investasi pertambangan―bukan hal yang mudah untuk dihasilkan. Kemudian muncul pertanyaan: sejauh mana berbagai upaya negosiasi dan penjajakan pilihan yang ada pada akhirnya menghasilkan kesepakatan yang baik (good deal) yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas dan bukan hanya menguntungkan segelintir elit atau kartel dalam bisnis tambang di Indonesia.
Oleh karena itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Research Centre for Politics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan dan Global Engagement Office (GEO) FISIPOL UGM, menghadirkan serial diskusi publik dengan tajuk: “Politik Negosiasi dalam Divestasi Tambang: Keuntungan dan Kesejahteraan Untuk Siapa?”
Acara tersebut diselenggarakan pada Kamis, 9 Maret 2017 dimulai pukul 09:30 bertempat di Ruang Auditorium Perpustakaan Digital Lantai 4 FISIPOL UGM. Diskusi dimoderatori oleh Hasrul Hanif, MA (Staf Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM). Adapun narasumber yang hadir dalam diskusi sebagai berikut:
- Ermy Ardhyanti (Koordinator Divisi Extractive Industry Governance-Article 33)
- Emanuel Bria (Asia Pacific Senior Officer-Nature Resource Governance Institute)
- Mukhlis, S.E. Akt. (Tax Manager PT. Freeport Indonesia)
- Ir. Josaphat Rizal Primana, M.Sc (Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan–Bappenas)
Acara dibuka oleh Dekan FISIPOL UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. Dalam sambutannya, Erwan menegaskan bahwa mahasiswa diharapkan tidak hanya mendengarkan para narasumber akan tetapi juga ikut aktif berkontribusi dalam mendiskusikan tema tentang politik negosiasi ini. Beliau mengungkapkan bahwa persoalan negosiasi tambang terutama Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia menjadi alot dan menurut ilmu sosial dan ilmu politik tidak bisa dilepaskan dari dua hal.
“Pertama perubahan geopolitik, geostrategis internasional kalau kita bicara sejarah kapan Freeport masuk di Papua itu saya kira terkait dengan perubahan geopolitik global pada saat terjadi peristiwa besar-besaran kolonialisasi di awal abad 20. Kedua juga tidak bisa dihilangkan kondisi politik nasional sejak 98 Indonesia makin menjadi negara yang demokratis maknanya kalau pemerintah membuat keputusan tidak bisa membuat keputusan sendiri, sepihak tetapi harus melibatkan masyarakat,” papar Erwan.
Setelah kata sambutan, acara dilanjutkan dengan pemberian kenang-kenangan kepada seluruh narasumber oleh Dekan FISIPOL UGM serta foto bersama. Kemudian pemutaran video promosi pelatihan PolGov mengenai capacity building yang terkait dengan tata kelola industri ekstraktif. Acara dilanjutkan dengan penyerahan acara kepada moderator diskusi yaitu Hasrul Hanif, MA (Staf Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM).
Dalam pembukaan acara diskusi, Hasrul Hanif memberikan pengantar berupa latar belakang FISIPOL UGM mengangkat tema Politik Negosiasi dalam Divestasi Tambang. “Terdapat isu yang menarik terkait proses tambang Freeport di Indonesia, mengapa FISIPOL tiba-tiba berbicara soal tambang? Dan mendiskusikan lebih jauh? Jawabannya adalah pada dasarnya berlandaskan pada pasal 33 sehingga menjadi penting untuk dibahas lebih jauh mengenai tata kelola tambang di Indonesia. Sehingga mendatangkan narasumber yang kompeten,” jelas Hasrul.
Narasumber pertama yang memantik diskusi ialah Mukhlis, S.E. Akt. (Tax Manager PT. Freeport Indonesia) juga merupakan alumni Universitas Gadjah Mada. Beliau mengatakan bahwa industri tambang merupakan hal yang sulit untuk dipahami sedangkan orang-orang yang bekerja didalam tidak mau menjelaskan ke luar. “Banyak versi di media seperti Kompas yang menjabarkan bagaimana Freeport dan itu tidak akurat. Karena pada faktanya, endapan geologis ada 2, pertama yakni primer (intinya masih bersenyawa dengan mineral lain) dan yang kedua adalah alluvial/sekunder. Diberitakan di Kompas bahwa Freeport memproduksi 726 juta ton emas, faktanya terbitan dari media lain produksi emas di seluruh dunia hanya 2500 ton. Karenanya, perlu berhati-hati dalam memilah referensi,” ungkap Mukhlis.
Lebih lanjut Mukhlis memaparkan mengenai politik negosiasi, negosiasi menjadi lambat sejak tahun 2009 akan tetapi belum ada kesepakatan mengenai kontrak karya hingga sekarang. “Problemnya adalah tidak ada insentif dari perusahaan untuk cepat-cepat menyepakati luas wilayah. Kedua, perusahaan pada umumnya menyepakati 6 nilai yang sudah disebutkan dalam satu paket. UU Minerba pada tahun 2009, terdapat suatu message yang multi interpretasi dan perlu dilakukan penyesuaian.”
Kemudian materi dipaparkan oleh narasumber kedua yaitu Emanuel Bria (Asia Pacific Senior Officer-Nature Resource Governance Institute). Dalam paparannya, Bria sapaan akrabnya fokus menjelaskan mengenai divestasi. Negara dalam mengelola sumber daya alam terdapat 4 topi yakni: negara sebagai pemilik, negara sebagai pengumpul pajak (Freeport menyumbang 32% untuk Indonesia), negara sebagai investor dan negara sebagai operator tambang. “Pilihan dari masing-masing negara bergantung pada tujuan utama kebijakan pemerintah. Resiko yang tersedia, tingkat diversifikasi ekonomi sebuah negara, tingkat ekonomi sebuah negara, kapasitas administratif dan teknis sebuah negara. Saat negosiasi awal, sudah ditentukan kesepakatannya seperti apa. Negara dipinjamkan sahamnya dari perusahaan kepadanya dan kemudian akan dibayarkan lagi. Bagaimana dengan Indonesia? Jika investasi mencapai 51% itu dapat dinamakan sebagai nasionalisasi. Mayoritas Investasi di Indonesia adalah investasi asing,” jelas Bria.
Setelah itu materi disampaikan oleh narasumber ketiga yaitu Ir. Josaphat Rizal Primana, M.Sc (Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan–Bappenas). Beliau membahas mengenai pembangunan pertambangan nasional, apakah divestasi sebagai salah satu jawaban. “Syarat divestasi ada institusi pemerintah baik BUMN maupun BUMD yang terkait, mekanisme yang transparan dalam proses divestasi karena khawatirnya ditunggangi oleh sesuatu yang bersifat politis, ada pemerintah yang sangat kuat dalam niat menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Beyond divestasi terdapat hal penting dalam sumber daya alam, diantaranya: bagaimana dapat memberikan good deal, pendapatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta sustainability. Persoalan divestasi bukan persoalan yang pertama di Indonesia, tahun 91 freeport memberikan saham kepada Indonesia,” paparnya.
Terakhir, Ermy Ardhyanti (Koordinator Divisi Extractive Industry Governance-Article 33) berbicara mengenai kedaulatan semu praktik divestasi di Indonesia. “Kebijakan divestasi terbagi menjadi dua hal yakni analisis regulasi serta kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perkembangan regulasi divestasi minerba semakin mengarah kepada Resource Nationalism. Dari tahun ke tahun sudah melibatkan pemerintah daerah. Rekomendasi yang kami tawarkan ialah pemerintah pusat membuat regulasi skema pendanaan/ pembagian besaran divestasi di tiap level pemerintah, penguatan kelembagaan BUMN dan BUMD, keterlibatan bank pemerintah dalam pendanaan divestasi, golden share terhadap pemerintah daerah, dan pengetatan peraturan kewajiban perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan divestasi untuk melaporkan laporan keuangan secara berkala,” pungkasnya.
Kemudian diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab, dan diskusi antara narasumber dan mahasiswa yang hadir. Acara diskusi berakhir pada pukul 12.30 WIB. (/dbr)