Tambang Freeport di Papua
Ribut-ribut antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia (Freeport) mulai mereda. Pemerintah meminta Freeport mengubah kontrak karya jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), sekaligus divestasi saham 51% sempat ada penolakan meskipun belakangan perusahaan asal Amerika Serikat ini setuju. Bagaimana pandangan pemilik ulayat di Papua?
Ronny Nakiaya, dari Suku Kamoro juga Sekretaris Masyarakat Adat Independen (MAI) mengatakan, sejauh ini proses perubahan status itu belum melibatkan masyarakat sekitar.
“Proses perundingan belum melibatkan kami. Masyarakat akar rumput tak dilibatkan. Tak pernah ada proses duduk bersama kami membicarakan masa depan Freeport seperti apa,” katanya, akhir pekan lalu.
Baca juga: Ribut Freeport Jangan Cuma Soal Duit, Bagaimana Nasib Lingkungan dan Orang Papua?
Dia menduga, kemungkinan terjadi kompromi pada elite-elite lokal. Seharusnya, kalau ada proses negosiasi, tetap melibatkan masyarakat.
“Biarkan masyarakat menentukan masa depan mereka seperti apa. Masyarakat yang memiliki daerah dan langsung menerima dampak tambang Freeport,” katanya.
Menurut pandangan Ronny, Suku Amungme dan Kamoro, pemilik tanah ulayat tempat Freeport beroperasi di Papua, tegas meminta pemerintah menutup pertambangan Freeport. Selama ini, mereka hanya jadi korban Freeport dan pemerintah.
Selama Freeport beroperasi, katanya, banyak hak masyarakat adat Amungme dan Kamoro, terampas. Hak lingkungan hidup sehat, sampai hak wilayah adat, hak sipil dan lain-lain.
“Freeport merampas tanah ulayat tanpa ada negosiasi dengan masyarakat Amungme dan Kamoro. Freeport juga menyebabkan konflik antar kepentingan para elite. Masyarakat sering diadu domba,” katanya.
Masyarakat, kini kehilangan mata pencaharian. Dulu mereka bisa bertani dan meramu, sekarang tanah tercemar limbah. “Kekerasan terus terjadi,” katanya.
Bahkan, masyarakat Amungme dan Kamoro untuk masuk ke wilayah mereka harus ada izin Freeport. Padahal, wilayah itu jelas tanah leluhur mereka.
Begitu juga kala berbicara kontribusi Freeport, katanya, belum mereka rasakan. Sejak beroperasi 1967, lanjut Pepera 1969, belum ada kontribusi berarti.
Sumber daya alam (SDA), kata Ronny, terkuras, meninggalkan kerusakan lingkungan, membuat masyarakat sekitar jadi sengsara.
“Kami tak dapat apa-apa dari eksploitasi tambang itu. Baru setelah ada pemberontakan 1996 yang menimbulkan banyak korban, Freeport memberikan dana 1%. Itupun tak jelas, karena tak langsung dirasakan masyarakat. Dikatakan Freeport sudah berikan akses kesehatan dan pendidikan, kami tak pernah merasakan. Dana 1% juga tak jelas.”
Bahkan, setelah ada dana 1% justru muncul elite-elite baru yang sebenarnya tak pernah bersentuhan langsung dengan masyarakat adat. Selain itu, konflik antarsuku sering terjadi.
Dia pun meminta pemerintah menutup operasi tambang Freeport dan audit menyeluruh.
Ronny sadar, tuntutan ini pasti berdampak turunan, seperti pemutusan hubungan kerja massal. Perusahaan, katanya, harus bertanggung jawab membayar pesangon pekerja dan pemulihan lingkungan bersama pemerintah.
“Freeport dan pemerintah harus bertanggungjawab memperbaiki kerusakan. Daerah operasi Freeport, lingkungan rusak. Tanggul bocor, ribuan hektar tanah tandus dan tercemar limbah. Itu harus dikembalikan. Harus ada ganti rugi kerusakan alam.”
Beberapa waktu lalu, Bupati Mimika Eltinus Omaleng sempat meminta saham Freeport 20% agar ada keadilan bagi masyarakat Amungme dan Komoro.
Hal berbeda dilontarkan Nicolaus Kanuggok, pemuda adat Kamoro. Nico sama pandangan dengan Ronny, ingin Freeport tutup.
Kalaupun setelah audit ada pembicaraan lebih lanjut mengenai masa depan Freeport, katanya, seharusnya diserahkan kepada masyarakat langsung.
“Aspirasi kami jelas, tutup dan audit dulu. Kami tak meminta saham berapa persenpun. Tutup dulu, setelah tutup, audit dulu. Kami ingin tahu seberapa besar kontribusi ke masyarakat. Setelah itu masyarakat menentukan. Pemerintah hanya fasilitator.”
Dia meminta, masyarakat terlibat dalam semua perjanjian dan ada payung hukumnya hingga ada kekuatan.
Adolfina Kuum, tokoh perempuan adat Amungme menolak segala kompromi antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat terkait Freeport.
“Selama ini kami pemilik hak ulayat tak pernah dilibatkan pemerintah dan Freeport. Harusnya dilibatkan.”
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam) juga meminta pemerintah Indonesia melibatkan masyarakat Papua dalam perundingan dengan Freeport. Perundingan harus dalam kerangka penyelesaian menyeluruh bagi pemulihan lingkungan dan penyelesaian pelanggaran HAM dampak operasi Freeport. Bukan hanya membahas pemenuhan kewajiban aturan pemerintah.
Ari Yurino, advokasi HAM Elsam mengatakan, Pemerintah Indonesia harus menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat Timika pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi Freeport, 10 atau 50 tahun mendatang.
Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi
Pemanfaatan seluruh SDA Papua, seharusnya bagi kesejahteraan dan peningkatan mutu kehidupan masyarakat. “Ironis, mengingat sejak awal pemberian kontrak karya pertama Freeport, masyarakat adat tak pernah dilibatkan,” katanya.
Sejak mulai penambangan resmi (1967), Suku Amungme dan Kamoro kehilangan berturut-turut tanah ulayat seluas 100.000 hektar.
Tahun 1983-1985, kembali kehilangan tanah 7.000 hektar untuk pendirian Kota Timika. Tanah 25.000 hektar hilang untuk pendirian Kuala Kencana, yang diresmikan Soeharto 1997.
Suku Amungme, katanya, kehilangan tanah satu juta hektar untuk kepentingan pendatang dari luar Papua atas nama program transmigrasi.
Setelah pengesahan kontrak karya Freeport 1991, pemerintah Indonesia menyatakan persetujuan memberikan konsesi tanah untuk keperluan pertambangan Freeport seluas 2,6 juta hektar.
“Ini mengakibatkan pemiskinan bagi masyarakat Amungme dan Kamoro.”
Operasi Freeport, katanya, juga mengorbankan sejumlah sungai yang jadi lahan membuang limbah beracun seperti merkuri dan sianida, yakni Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimone.
Sungai Ajkwa di Mimika, jadi, tempat pembuangan tailing sejak 1998. Pencemaran air sungai menyebabkan masyarakat Amungme dan Kamoro, sulit mengakses air bersih.
Praktik perampasan tanah ulayat dan pencemaran lingkungan ini, katanya, bukan tak diketahui pemerintah Indonesia. Berbagai pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan Freeport berupaya ditutupi pemerintah di masa Orde Baru.
Contoh, pada 1995, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) menyatakan, Freeport mencemari sungai di Papua dengan tailing yang mengandung asam dan racun.
Divestasi kuras anggaran?
Pemerintah Indonesia diminta cermat dan berhati-hati dalam divestasi saham tambang perusahaan asing di Indonesia. Kebijakan divestasi saham yang mengharuskan pemerintah memiliki saham hingga 51% dinilai berisiko menguras anggaran pendapatan belanja negara (ABPN) bahkan menimbulkan dampak negatif pada iklim investasi masa mendatang.
“Kebijakan ini mengancam investasi masa depan. Mayoritas investasi Indonesia merupakan investasi asing,” kata Emanuel Bria, peneliti Natural Resource Governance Institute baru-baru ini dalam diskusi di Yoggakarta.
Aturan divestasi saham tambang ini menyebabkan perusahaan asing harus melepaskan sebagian kepemilikan saham kepada pemerintah.
“Divestasi saham perusahaan sering dimanfaatkan konglomerat Indonesia, tak jarang asal dana saja dari hasil pinjaman asing,” katanya.
Menurut Bria, seperti rencana divestasi saham Freeport 51%, perlu dana tak sedikit. Setengah dari total saham Freeport, sama dengan 40% dana anggaran kesehatan. “Bayangkan jika anggaran semua rumah sakit di Kalimantan, NTT, dan Sumatera. Apalagi, nanti pemerintah beli pakai APBN.”
Josaphat Rizal Primana, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan, Bappenas, mengatakan, kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla sangat proaktif.
Kebijakan divestasi, katanya, amanat UU Minerba. Meskipun begitu, Rizal tak sependapat apabila Freeport dikelola BUMN, karena perusahaan negara belum berikan keuntungan maksimal. Syarat divestasi, katanya, apabila BUMN dan BUMD sudah efisien dan transparan. “Banyak BUMN merugi, hanya sedikit yang memberikan keuntungan bagi negara.”
Mukhlis, Tax manager PT Freeport indonesia, menambahkan, Freeport beroperasi sejak 1973. Pemasukan ke negara US$16,6 miliar dari 1992 hingga sekarang. Perusahaan mempekerjakan 12.184 orang, melibatkan penduduk Papua sekitar 35%. Dana ke masyarakat total US$1,46 miliar.
Sebagai perusahaan tambang multinasional, katanya, Freeport perlu jaminan hukum dari pemerintah agar terus berkembang.
Ermy Ardhyanti dari Article 33 mengatakan, bisnis SDA punya nilai strategis, tetapi dampak pertambangan pada lingkungan dan menciptakan bencana ekologi tak pernah masuk hitungan kerugian negara.
Dalam riset royalti pertambangan, Article 33 menemukan, skema fiskal industri pertambangan tak pertimbangkan kerusakan lingkungan, dan kehilangan mata pencarian warga.
Royalti pun kecil. Untuk pemegang izin PKP2B sekitar 13,5% dan pemegang izin usaha pertambangan 10%. “Pemda terima bagi hasil tapi punya kewajiban penanggulangan bencana dan kerusakan di area tambang yang lebih besar dari pendapatan,” katanya.
Dia bilang, Article 33 mau menambahkan formula indikator biaya kerusakan. “Royalti untuk negara itu di bawah nilai.”
Kerusakan lingkungan dan bencana tambang tak pernah dihitung. Pertambangan di Indonesia 90% open pit, dampak kerusakan tinggi. Dana jaminan dan jaminan pasca tambang tak efektif dan tak memadai.
Data KPK terakhir, katanya, sekitar 80-90% perusahaan tambang tak menempatkan dana jaminan reklamasi. “Itu tak jadi perhatian penting ketika dikeluarkan izin,” katanya.
http://www.mongabay.co.id/2017/04/05/masyarakat-amungme-dan-kamoro-sikapi-soal-freeport/