EventForum Kajian PembangunanGEDSI

SERI WEBINAR FORUM KAJIAN PEMBANGUNAN AKSES PENYANDANG DISABILITAS TERHADAP LAYANAN PUBLIK

Foto penulis

3 Menit

Diskusi publik Article 33 Indonesia bersama dengan Forum Kajian Pembangunan tentang “AKSES PENYANDANG DISABILITAS TERHADAP LAYANAN PUBLIK dilakukan melalui aplikasi pertemuan daring pada hari Kamis, 10 September 2020. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Indira Pramesi sebagai perwakilan dari Article 33 Indonesia. Diskusi publik daring ini menghadirkan Dra. Eva Rahmi Kasim M.DS (Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial), Romo Avent Saur (Ketua Kelompok Kasih Insanis, Yayasan Kita Keluarga Insani), dan Mulyana (peneliti Article 33 Indonesia). Webinar diskusi publik ini dihadiri oleh sekitar 23 peserta (sepanjang kegiatan jumlah peserta bisa bertambah dan berkurang sewaktu-waktu karena kemungkinan kendala teknis dari peserta itu sendiri). Beberapa di antara para peserta itu adalah BAPPEDA Kabupaten Klaten, perwakilan Dinas Kesehatan Ende, perwakilan BAPPEDA Ende, perwakilan BPS, perwakilan KSI, serta perwakilan beberapa lembaga non pemerintah.

Hasil dari diskusi publik ini, kami dapat mengidentifikasi permasalahan dalam akses penyandang disabilitas terhadap pelayanan publik di daerah sekaligus mengidentifikasi arah kebijakan tentang penyandang disabilitas termasuk dalam kaitannya dengan respon terhadap pandemi COVID-19. Mulyana memaparkan temuan awal hasil studi yang Article 33 Indonesia lakukan tentang “AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN”. Pemaparan yang disajikan oleh Mulyana menunjukkan bahwa proses pendataan penyandang disabilitas di daerah masih belum terintegrasi antara pusat dan daerah, terutama tingkat pemerintahan yang paling rendah. Persoalan pendataan sendiri juga cenderung masih berbeda-beda antar-sektor (tidak satu data yang sama). Pelayanan publik yang diberikan terutama layanan kesehatan masih fokus pada pemenuhan layanan minimum dan masih menitikberatkan pada ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Perencanaan dan proses monitoring-evaluasi untuk implementasi program bagi penyandang disabilitas masih belum kuat karena pemahaman substansi regulasi tanpa data yang memadai dan valid. Struktur organisasi dalam OPD juga sering berganti sehingga selalu memerlukan transfer ilmu dari pejabat sebelumnya ke pejabat yang baru.

Ibu Eva sebagai perwakilan dari pihak pemerintah memberikan penjelasan dalam paparannya bahwa pemerintah sudah mulai mengubah paradigma layanan publik menjadi pelayanan sosial yang terpadu dan berkelanjutan, menjangkau seluruh warga (inklusif), sistem dan program yang komprehensif, terstandarisasi, melembaga dan profesional serta mengutamakan pencegahan, mengedepankan keluarga, masyarakat dan layanan sosial lembaga temporer, serta sumber daya manusia yang profesional. Kebijakan teknis terkait program pelindungan dan rehabilitasi sosial juga sudah disusun oleh pemerintah pusat yang terdiri dari enam poin yaitu (1) penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, (2) penguatan sistem rehabilitas sosial yang terintegrasi dengan jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial, (3) perluasan jangkauan rehabilitasi sosial berbasis keluarga, komunitas dan residensial, (4) penguatan kapasitas dan kelembagaan balai besar/balai lokal/panti rehabsos dan LKS, (5) peningkatan kampanye pencegahan, rehabilitasi, pemberdayaan, jaminan dan perlindungan sosial di seluruh sektor dan masyarakat, serta (6) peningkatan peran pemda, masyarakat dan swasta dalam pelayanan sosial. Untuk mendukung hal-hal tersebut strategi operasional juga dibuat agar pelayanan publik bagi penyandang disabilitas dapat dilakukan dengan maksimal. Pada sesi tanya jawab juga Bu Eva menjelaskan bahwa pemerintah terutama Kementerian Sosial juga memberikan bantuan seperti modal rumah singgah, platform ATENSI dan SERASI untuk mendukung kelompok/komunitas masyarakat yang berusaha membantu masyarakat penyandang disabilitas dan ODGJ.

Di sisi lain Romo Avent memaparkan kondisi nyata di lapangan terutama bagi para ODGJ di daerah Ende. Beliau menyatakan bahwa lembaga masyarakat seperti KKI harus bergerak sendiri dengan usaha lebih karena bantuan pemerintah bagi para penyandang disabilitas dan ODGJ masih belum dapat mengatasi seluruh persoalan yang ada di lapangan. Meski demikian semakin lama bantuan dan perhatian pemerintah meningkat. Selain itu beliau juga menyatakan bahwa edukasi masyarakat tentang penyandang disabilitas dan ODGJ penting supaya tidak ada penanganan yang salah terhadap mereka dan keluarga maupun masyarakat memberikan pertolongan yang pantas, salah satunya adalah dengan dibawa ke layanan publik yang terkait dengan kebutuhan penyandang disabilitas dan ODGJ.

Tujuan dari diskusi publik daring ini dengan melihat dari kesesuaian temuan hasil studi Article 33 Indonesia dengan persoalan disabilitas di daerah lain (dalam hal ini daerah Ende, NTT) terkait layanan kesehatan. Selain itu, rekomendasi dari Bu Eva mengenai pentingnya daerah memiliki Rencana Induk Penyandang Disabilitas juga menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam hal-hal yang perlu ditindaklanjuti. Ada dua hal yang akan dilakukan: 1) Melanjutkan studi untuk mendalami isu-isu utama dalam hal layanan kesehatan untuk penyandang disabilitas dan 2) kerjasama dengan berbagai stakeholder di daerah studi untuk meningkatkan kesadaran dengan membuat dokumen kebijakan yang terarah dengan indikator terukur.