Liputan MediaRegional Development

[TEMPO.CO] Hak Aksesibilitas Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas

Foto penulis

3 Menit

Hak kesehatan semakin penting seturut situasi pandemi saat ini. Tahun lalu, World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan, bahwa pemerintah pusat dan daerah harus memastikan penyandang disabilitas mendapat akses yang mudah di bidang kesehatan. Pasalnya, mereka lebih rentan terhadap persebaran virus Corona.

Berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 9,7 persen dari jumlah penduduk, atau sekitar 26 juta orang.

Menyikap hal tersebut, lembaga riset untuk perubahan sosial, Article33 Indonesia melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan pemerintah dalam memberikan hak kesehatan penyandang disabilitas. Penelitian yang dimulai sejak 2020 berlanjut hingga akhir 2021. Kabupaten Klaten dan Kabupaten Wajo dipilih menjadi lokasi penelitian.

“Ada tiga kriteria untuk memilih daerah penelitian. Satu, sudah memiliki Perda (Peraturan Daerah) disabilitas. Dua, jumlah disabilitas dengan rasio relatif banyak, dan terakhir rasio jamkes yang relatifrendah namun jumlah disabilitasnya banyak,” ujar peneliti Ekonomi Article33, Yusuf Faisal Martak, Rabu, 25 Agustus 2021.

Article33 menghasilkan dua kesimpulan dari penelitian di dua daerah tersebut,yakni minimnya akses disabilitas dan rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. “Salah satu akses penting adalah ketersediaan jamkes (jaminan kesehatan), nakes (tenaga kesehatan) yang tidak merata dan belum sesuai kebutuhan. Kalau untuk kualitas misalnya alat dukung bagi penyandang disabilitas. Saat ini masih terbatas pada beberapa jenis disabilitas, padahal disabilitas banyak macamnya,” kata Yusuf.

Dari 26 juta penyandang disabilitas di Indonesia, 31 persen atau 8 juta orang belum memiliki jamkes. Padahal mereka merupakan kelompok rentan yang paling membutuhkan pelayanan kesehatan karena kekhususannya untuk mendapatkan pelayanan rutin.

Riset tersebut juga menemukan bukan hanya kekurangan jumlah nakes, tetapi juga  rendahnya pengetahuan nakes dalam memahami kebutuhan disabilitas. Contoh,  nakes tidak memahami cara berkomunikasi dengan penyandang tuna rungu sehingga pasien tidak dapat menyampaikan keluhan penyakitnya dengan maksimal.

Untuk diketahui, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia bersumber dari Susenas belum selaras dengan data milik dinas-dinas sosial di daerah. Kementerian Sosial melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 2 Tahun 2021 sedang memutakhirkan data disablitas dengan cara memulai pendataan di tingkat kelurahan. Salah satu sumber yakni Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Menurut Yusuf, DTKS tidak lagi bisa menjadi patokan. “Dinas Sosial di Klaten mengakui jumlah penyandang disabilitas di daerah mereka kecil karena dari DTKS. Harus ada pendataan ulang, seperti sensus penduduk tapi khusus disabilitas,” ujarnya.

Untuk diketahui, DTKS di Kementerian Sosial hanya memuat 40 persen penduduk yang mempunyai status kesejahteraan sosial terendah. Jadi, disabilitas yang tercatat di DTKS tergolong penduduk berkesejahteraan terendah, tidak memuat jumlah total disabilitas yang ada di Indonesia.

Akurasi data jumlah penyandang disabilitas, kata Yusuf, sangat penting karena menjadi dasar berbagai kebijakan yang akan diaplikasikan. Dia bersyukur, kehadiran Article33 di Wajo dan Klaten berhasil memberi perspektif baru pada para pemangku kebijakan. Pemerintah daerah, menyadari selama ini perhatian terkait hak kesehatan penyandang disabilitas memang kurang.

Dinas Sosial di Kabupaten Wajo bersama Article33 saat ini menurunkan tim yang akan melakukan pendataan ulang dengan langsung menyambangi penduduk. “Memang awalnya kami berangkat berdasarkan data yang ada (Dinsos), tapi nanti sambil menyisir ke tetangga si penyandang disabilitas yang ada dalam data,” kata Yusuf.

Dari berbagai temuan di Wajo dan Klaten, Article33 memberikan empat rekomendasi kepada Pemkab Wajo dan Pemkab Klaten. Pertama, perbaikan pendataan disabilitas. Kedua, penataan layanan disabilitas di masa pandemi, meliputi SOP pelayanan kesehatan dan pemerataan nakes untuk layanan kesehatan disabilitas. Ketiga, peningkatan infrastruktur ramah disabilitas, dan terakhir mekanisme penghargaan.

Khusus Kabupaten Wajo akan membentuk komite disabilitas, sementara Klaten telah memiliki komunitas yang mewadahi para disabilitas, yakni Perkumpulan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK). Keberadaan paguyuban tersebut berperan menjadi penjalin sinergi antara pemerintah daerah dengan kelompok masyarakat.

Yusuf mengatakan, kendati hasil penelitian berikut rekomendasi kebijakan, serta jalinan kolaborasi dengan Pemkab Wajo dan Pemkab Klaten tidak bisa dijadikan role model untuk diterapkan ke wilayah lainnya, seluruh hasil tersebut akan menjadi pijakan membawa hasil penelitian ke pemerintah pusat. “Dua daerah tersebut akan jadi best practice. Kita bakal pakai perspektif di dua daerah tersebut karena kita telah mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi,” ujarnya.

Hasil penelitian Article33 dapat dilihat pada buku Aksesibilitas Penyandang Disabilitas yang memuat lengkap kajian dan rekomendasi. Kerja keras Article33 dalam menyediakan sumber pengetahuan untuk menjadi dasar pembuatan kebijakan pemerintah berdasarkan bukti konkrit, merupakan sinyal kuat agar pemerintah mempererat kolaborasi dengan berbagai lembaga dan tink tank demi tercapainya pembangunan inklusif di Indonesia yang lebih baik.(*)

Artikel ini sudah tayang di link berikut:

https://nasional.tempo.co/read/1506950/hak-aksesibilitas-kesehatan-untuk-penyandang-disabilitashttps://nasional.tempo.co/read/1506950/hak-aksesibilitas-kesehatan-untuk-penyandang-disabilitas