EventForum Kajian PembangunanNatural Resource and Climate Change

Reformasi Kelembagaan di Sumber – Jalan Menuju Pelayanan Sampah 100%

Foto penulis

4 Menit


Pada Kamis, 26 September 2024, Article 33 Indonesia menyelenggarakan Forum Kajian Pembangunan dengan tema “Reformasi Kelembagaan di Sumber: Jalan Menuju Pelayanan Sampah 100%.” Acara ini dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom dari pukul 15.30 hingga 17.30 WIB, dihadiri oleh lebih dari 100 peserta. Forum ini diselenggarakan dalam Bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan Juru Bahasa Isyarat.

  • FKP 1 2
  • FKP 1
  • FKP 1 3

Forum ini menghadirkan lima pembicara utama dan satu moderator:

  1. Novrizal Tahar – Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan
  2. Arky Gilang Wahab – CEO, PT Greenposa Adika Nusa
  3. Ria Ismaria – Article 33 Indonesia
  4. Dewi Chomistriana – Sekretaris Umum, Ikatan Ahli Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI).

Moderator: Aufa Sirait, Article 33 Indonesia

Diskusi dibuka dengan sambutan dari Santoso selaku Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia, dan Lydia Napitupulu selaku Sekretaris Forum Kajian Pembangunan. Selanjutnya, keynote speech diberikan oleh Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjelaskan terkait komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi melalui sektor limbah dan kondisi terkini pengelolaan sampah di Indonesia.

Sesi pertama dimulai oleh Novrizal Tahar sebagai keynote speech yang membahas komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui sektor limbah dan sampah. Ia menjelaskan target Indonesia untuk menurunkan 40 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030 dan mencapai net zero emission pada 2060, dengan fokus pada empat subsektor limbah utama: limbah padat domestik, limbah cair domestik, limbah padat industri, dan limbah cair industri. Novrizal juga menyoroti pentingnya transisi dari sistem landfill ke teknologi yang lebih ramah lingkungan seperti waste-to-energy, RDF, dan komposting, serta upaya untuk menangkap gas metana yang dihasilkan dari landfill.

Selanjutnya, Novrizal Tahar mengungkapkan bahwa pengelolaan sampah saat ini baru mencapai 63%, jauh dari target 100% pada 2025. Ia mengusulkan peningkatan anggaran pengelolaan sampah minimal 3% dari APBD dan pentingnya industrialisasi pengelolaan sampah untuk mendorong profesionalisme di sektor ini. Selain itu, ia menekankan perlunya perubahan struktural untuk menjadikan pengelolaan sampah sebagai layanan dasar dalam undang-undang, serta mendorong sistem pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular dan teknologi modern.

Acara dilanjutkan dengan penayangan video yang menggambarkan kondisi pengelolaan sampah di Indonesia, menyoroti tingginya timbulan sampah, krisis lahan TPA, dan perlunya reformasi kelembagaan. Rata-rata, satu orang di Indonesia menghasilkan 0,5–0,7 kg sampah per hari, dengan total sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari. Sekitar 40% dari sampah tersebut adalah organik, yang berpotensi untuk didaur ulang. Namun, 62% sampah berakhir di TPA, dan 38% lainnya tidak dikelola dengan baik. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan regulasi yang jelas, pendanaan yang memadai, serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk mencapai solusi pengelolaan sampah yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Sesi berikutnya, Ria Ismaria dari Article 33 Indonesia mempresentasikan riset yang dilakukan institusinya terkait pengelolaan sampah di Kota Bandung yang berjudul “Skema Kelembagaan Pengelolaan Sampah dari Sumber di Kota Bandung”. Berdasarkan temuan dari penelitian ini, Kota Bandung menghasilkan 1.600 ton sampah per hari, namun pengelolaan sampah yang diterapkan masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang yang tidak berkelanjutan. Bencana darurat sampah sering terjadi akibat tumpukan sampah organik yang menghasilkan gas metana dan berpotensi memicu kebakaran. Meskipun sudah ada pemisahan peran regulator dan operator melalui UPTD BLUD, pengelolaan di tingkat rumah tangga masih bergantung pada kesukarelaan masyarakat, yang mengakibatkan akses layanan yang tidak merata dan sampah yang tidak terpilah.

Ria menekankan pentingnya reformasi kelembagaan, termasuk memperbanyak UPTD BLUD dan mendelegasikan kewenangan pengelolaan sampah kepada tingkat kewilayahan untuk meningkatkan efisiensi. Untuk itu, diperlukan pemecahan UPTD BLUD menjadi beberapa unit, memastikan sampah dipilah dari sumbernya, serta mengoptimalkan pembayaran jasa layanan untuk mengurangi keberadaan free riders.

Sesi berikutnya adalah sesi Talkshow dan Diskusi yang dimulai dengan pertanyaan yang dipantik oleh Moderator terkait pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas. Arky Gilang Wahab memaparkan mengenai pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas, yang sudah mencapai 90% dalam pelayanan pengumpulan sampah, dengan peran utama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Terdapat 39 TPST/PDU yang dikelola pemerintah dan lebih dari 100 KSM di seluruh desa. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) fokus pada penegakan hukum dan pengelolaan residu di TPA, sementara sektor swasta, seperti Greenation, terlibat dalam pengolahan sampah organik menjadi pupuk atau pakan ternak. Namun, tantangan utama meliputi regulasi tumpang tindih, persaingan antar KSM, serta ketergantungan KSM pada pemerintah yang mempersulit penerapan kebijakan pemilahan sampah.

Meskipun sektor swasta mendukung, peran mereka kurang didukung oleh pemerintah karena dominasi KSM, yang mengakibatkan frustrasi di kalangan beberapa operator swasta. Legalitas KSM yang bervariasi juga menyulitkan pengawasan dan koordinasi. Kesimpulannya, meskipun pengelolaan sampah di Banyumas terbilang maju, masalah legalitas, koordinasi, dan kebijakan masih menjadi hambatan utama untuk efektivitas sistem.

Diskusi dilanjutkan secara mengalir dengan pertanyaan berikutnya kepada Dewi Chomistriana, terkait apa saja yang harus ditingkatkan dari kapasitas operator pengelolaan sampah terutama yang ada di hulu. Dewi menekankan bahwa dalam pengelolaan sampah, peningkatan kapasitas SDM, khususnya di tingkat hulu, sangat penting. Pemerintah pusat perlu memastikan kebijakan yang jelas agar mudah diterapkan di daerah. Kolaborasi antara LSM, akademisi, dan sektor swasta juga harus difasilitasi. Kelembagaan dan regulasi harus diperkuat, dengan penegakan hukum dan advokasi anggaran daerah untuk mencapai alokasi ideal (minimal 3% APBD). Partisipasi masyarakat, terutama dalam pengelolaan sampah di sumber, perlu ditingkatkan melalui edukasi tentang ekonomi sirkular. Kombinasi retribusi dan iuran diutamakan untuk pendanaan, dengan pengelola sampah berbadan hukum. Pemerintah pusat harus memperkuat anggaran pengelolaan sampah dan mengatasi hambatan struktural yang menghambat prioritas anggaran.

Dari sesi diskusi kali ini, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sampah yang efektif di Indonesia memerlukan perbaikan struktural yang melibatkan peran semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat. Pemisahan yang jelas antara regulator dan operator, serta penyesuaian pembiayaan yang tepat, menjadi hal krusial dalam mendukung operasional pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Selain itu, kolaborasi yang kuat antara berbagai sektor, termasuk swasta dan masyarakat, diperlukan untuk memastikan reformasi kelembagaan berjalan dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Dewi, “Reformasi kelembagaan pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama,” dan komitmen bersama akan membawa pengelolaan sampah yang lebih baik dan lebih efisien.

Yang paling penting adalah kita perlu melihat pengelolaan sampah bukan hanya sebagai urusan teknis, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.